KH. Dr. Agus Ahmad Suaidi, Lc. MA. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Salatiga
Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan hukum segala sesuatu semata-mata demi kemaslahatan manusia. Kata “hukum” ( الحكم ) berasal dari akar kata yang sama dengan kata “hikmah” ( الحكمة ) yang berarti kebijaksanaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap hukum Allah mengandung hikmah, atau maqshid (tujuan) yang baik bagi manusia. Mengikuti ketentuan hukum Allah berarti mengusahakan kebaikan dan menghindari mafsadah (kerusakan/kerugian) bagi diri sendiri.
Salah satu dari lima hukum syar’i yang ditentukan Allah adalah halal yang secara etimologis bermakna boleh, diijinkan atau tidak terlarang. Jika dikaitkan dengan benda-benda konsumtif, sesuatu dihukumi halal bila memenuhi syarat-syarat berikut : (1) diperoleh dengan cara yang haq, tidak bathil, (2) berasal dari bahan yang tidak diharamkan, (3) diproses dengan cara yang tidak melanggar syariat, dan (4) tidak menyebabkan resiko yang jelas-jelas merugikan atau merusak jiwa dan raga manusia.
Syarat pertama menuntut tidak adanya tindakan sadar yang mendholimi hak orang lain dalam memperoleh segala sesuatu. Ketentuan ini merupakan salah satu prinsip hukum Islam yang mengatakan لا ضرر ولا ضرار (Tidak boleh merugikan orang lain). Juga memenuhi salah satu tujuan primer syariat Islam yaitu حفظ المال atau melindungi harta. Ketaatan kepada prinsip ini akan menjamin keamanan dan lahirnya rasa aman dalam hati manusia. Sebaliknya, pelanggaran terhadapnya akan mengacam keamanan dan ketertiban masyarakat.
Syarat kedua dipenuhi dengan cara memastikan bahwa semua benda yang dikonsumsi bukanlah makanan, minuman, (atau kosmetik) yang berbahan benda yang diharamkan seperti bangkai, babi, darah, dan lain-lain. Selain haram dikonsumsi, benda-benda itu juga najis dan jika terkena anggota badan, pakaian, atau tempat sholat menyebabkan ibadah sholat tidak sah. Sebagian ‘illah atau alasan hukum haramnya benda-benda tersebut telah terkuak melalui hasil-hasil penelitian ilmiah. Namun, sekalipun alasan itu belum diketahui, maka cukuplah larangan agama untuk mengkonsumsinya menjadi dasar kita meninggalkannya. Prinsip hukum Islam mengatakan bahwa jika Allah melarang sesuatu pasti terdapat mafsadah di dalamnya baik manusia mengetahuinya maupun tidak.
Syarat ketiga menuntut proses dan prosedur yang dilakukan untuk mengolah barang untuk dikonsumsi sesuai dengan syari’at. Binatang yang halal dzatnya bisa menjadi haram dikonsumsi jika disembelih dengan cara yang melanggar ketentuan syari’at. Juga tetap haram dimakan meskipun penyembelihannya memenuhi syarat lahiriah (tidak dipotong berulang-ulang, kerongkongan, tenggorokan, dan dua aliran darahnya terputus) seandainya saat menyembelih diniatkan untuk dipersembahkan bagi berhala atau sesuatu yang dituhankan selain Allah. Karena itu para ulama mengharamkan memakan sesajen khususnya yang berupa daging karena diduga kuat disembelih untuk persembahan bagi selain Allah. Keharusan penyembelihan syar’i ini dimaksudkan sebagian untuk kebaikan binatang yang disembelih, misalnya mempersingkat rasa sakit yang dideritanya, dan sebagian manfaat kembali pada konsumennya. Seandainya ada organ yang seharusnya putus tetapi tidak dipotong maka darah binatang itu tentu masih tersimpan dalam organ dalamnya. Padahal darah haram dimakan.
Syarat keempat menuntut semua benda yang dikosumsi tidak mengandung bahan yang terbukti jelas-jelas merusak jiwa dan raga manusia. Khomr atau minuman keras serta zat-zat adiktif meskipun bendanya sendiri tidak najis (menurut sebagian ulama) namun karena jelas-jelas merusak jiwa dan raga atau salah satunya maka hukumya haram. Bahkan mafsadah yang ditimbulkan oleh perbuatan mengkonsumsi benda-benda tersebut sangat berpotensi membahaykan orang lain. Tidak terhitung jumlah kasus kriminalitas yang dipicu oleh efek khomr atau zat-zat tersebut. Uraian di atas masih terbatas pada pentingnya kehalalan benda-benda konsumtif. Ketentuan mengikuti prosedur syar’i demi status halal juga harus dipenuhi dalam bidang lain yang lebih luas seperti munakahah dan mu’amalah. Dalam kedua bidang hukum ini, syariat menggariskan ketentuan-ketentuan yang jika diikuti akan melahirkan kemaslahatan yang nyata bagi manusia. Manfaat kehalalan dalam munakahah akan menjauhkan zina, incest, homoseksualisme, dan setiap penyimpangan yang madhorotnya telah terbukti secara ilmiah. Ketentuan halal dalam seluruh tata laksana mu’amalah bahkan dewasa ini diakui secara luas oleh dunia terbukti dengan menjamurnya sistem-sistem keuangan atau perbankan syari’ah di banyak negara sekuler sekalipun. Alhamdulillah, Allah a’lamu bis showab.