Mochlasin Sofyan, Ketua IAEI IAIN Salatiga
Ekonomi Indonesia Pasca Pandemi
Kemunculan Coronavirus Disease 2019 (Covid 19) telah berdampak luas dalam kehidupan global di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali Indonesia. Pada mulanya pandemi ini berdampak pada bidang kesehatan, kemudian menjalar pada masalah ekonomi, sosial bahkan kehidupan beragama. Ancaman resesi pernah mengancam pada saat kondisi ekonomi jatuh pada siatuasi yang paling nadir, yaitu pada Triwulan II tahun 2020 dengan pertumbuhan PDB sebesar -5,53% padahal tahun sebelumnya telah mencapai 5,02%. Di samping berampak pertumbuhan ekonomi, pandemi memicu masalah pegangguran dengan eskalasi sebesar 2,67 juta dari 7,1 juta sebelum pandemi menjadi 9,77 juta orang menjadi pengangguran (Tribun News. Com, 2020). Selain itu, kemiskinan akibat pandemi juga meningkat dari jumlah 24,79 juta meningkat menjadi 26,42 juta setelah pandemi.
Pemerintah telah dan tengah berupaya sekuat tenaga untuk dapat keluar dari kondisi ini dengan berbagai program dan kebijakan. Kemunculan varian Omicron dengan memperhatikan berbagai indikator kesehatan, sepertinya mengarah pada endemi. Kondisi ekonomi pelan tapi pasti terus membaik, meskipun diwarnai kenaikan harga kedelai dan kelangkaan minyak goreng. Laporan BPS (2022), Ekonomi Indonesia pada Triwulan IV 2021 telah Kembali Tumbuh sebesar 5,02 Persen. Pertumbuhan tertinggi pada aspek produksi terjadi pada Lapangan Usaha Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial yang mencapai 10,46%. Aspek pengeluaran angka pertumbuhan tertinggi dicapai pada Komponen Ekspor Barang dan Jasa yaitu sebesar 24,04%. Bahkan IMF memprediksi, memasuki tahun 2022 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melampau negara-negara besar dengan capaian pertumbuhan PDB sebesar 5,6%. Salah satu faktor yang diprediksi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kemunculan halal industry. Besarnya potensi industri halal di Indonesia, terkait dengan populasi penduduk muslim yang mencapai 12,7% dari populasi penduduk muslim di dunia.
Prospek Halal Industry Market
Banyak kalangan yang mulanya apatis dengan kehadiran new trend yang tengah booming di Indonesia maupun di dunia. Kecenderungan baru itu adalah halal lifestyle yang menawarkan gaya hidup etis, hygienist, healthy dan harmonis bagi kehidupan semesta. Gaya hidup halal kenyataannya tidak hanya di terima kalangan konsumen muslim, tetapi juga non muslim global. Laporan Thomson Reuters bekerja sama dengan Dinar Standard (2017/2018) tentang Global Islamic Economy, menunjukkan bahwa konsumen muslim menghabiskan untuk makanan dan minuman sebesar US$1,2 triliun (2016). Diperkirakan tahun 2022, angka tersebut akan meningkat sebesar US$1,9 triliun. Sementara laporan lainnya dari The Pew Research Centre, memprediksi bahwa jumlah populasi muslim secara global akan terus tumbuh sambil dan bertahan menjadi agama terbesar kedua hingga tahun 2050. Indikatornya adalah negara-negara mayoritas muslim di Asia, Arab dan Afrika terus mengalami peningkatan jumlah penduduk. Kondisi demikian, akan mengukuhkan muslim sebagai pemeluk agama terbanyak nomor dua dan semakin memeperkecil gap dengan pemeluk mayoritas.
Dalam laporan Thomson Reuters (2018) di atas juga dijelaskan, disebutkan bahwa negara yang membelanjakan makanan dan minuman teringgi adalah Indonesia. Hal ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi pasar yang besar bagi produk halal. Secara berurutan besaran konsumsi makanan dan minuman dapat dilihat pada tabel berikut:
No | NEGARA | PENGELUARAN |
1. | Indonesia | US$ 169,7 miliar |
2. | Turki | US$ 121,1 miliar |
3. | Pakistan | US$ 111,8 miliar |
4. | Iran | US$ 59 miliar |
5. | dan Arab Saudi | US$ 48 miliar |
6. | Mesir | US$ 80,9 miliar |
7. | Bangladesh | US$ 71,1 miliar |
Sumber: Thomson Reuters dan Dinar Standard (2018)
Berdasarkan pemeringkatan Indikator Global Economic Islamy yang dirilis oleh State of the Global Islamic Economy (2018), negara Indonesia masuk sepuluh besar dari lima belas negara berpenduduk mayoritas muslim yang disurvei. Peringkat pertama diduduki oleh negara Malaysia kemudian secara berurutan dicapai oleh Uni Emirat Arab, Bahrain, Saudi Arabia, Oman, Jordan, Qatar, Pakistan, Kuwait, Indonesia, Brunei, Sudan, Bangladesh terakhir Turki di ranking lima belas. Survei yang dilakukan oleh lembaga yang sama tahun 2020, menunjukkan Negara Indonesia meraih peningkatan skor 90 dari 45 sebelumnya. Skor tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat keempat setelah Malaysia (skor 290), Arab Saudi (skor 155) dan Uni Emirat Arab (skor 133). Komulasi skor tersebut dicapai dengan mempertimbangkan enam sektor yaitu halal food, halal finance, halal travel, halal modest fashion, halal media recreation dan halal pharma cosmetic.
Sementara laporan lainnya dari IMARC (International Market Analysis Research and Consulting Group), meyatakan bahwa pasar makanan halal global mencapai nilai US$1,4 triliun pada tahun 2017. IMARC memprediksi perkembangan tahun 2023 nilai pasar akan mencapai US$2,6 triliun dengan pertumbuhan sebesar 11%. Namun dari sisi produksi, data statistik dari The Dubai Islamic Economic Development Centre dan Thomson Reuters (2016), ternyata Brasil merupakan pengekspor sebagian besar makanan dan minuman halal di dunia (US$5,2 miliar), diikuti oleh Australia ( US$2,4 miliar), kemudian India (US$ 2,3 miliar), dan Prancis (US$ 0,8 miliar) kemudian negara mayoritas muslim yaitu Sudan berada di urutan keenam (US$0,6 miliar).
Halal Tourism sebagai Leading Sector
Dibandingkan sektor lainnya, pariwisata merupakan sektor ekonomi yang terbesar dan tercepat pertumbuhannya. Hal itu dapat terlihat dari jumlah wisatawan internasional menunjukkan kenaikan positif misalnya dari tahun 1995 sebesar 528 juta orang menjadi 1,1 milyar tahun 2014. Di samping kekayaan alam, Indonesia juga memiliki kekayaan budaya dan kuliner yang bisa dikembangkan menjada halal tourism atau pariwisata halal. Kontribusi sektor wisata nasional pada tahun 2019 mencapi 4,7%, terhadap PDB kemudian turun saat pandemi menjadi 4,02%. Penurunan kontribusi sektor pariwisata pada umumnya, akan berdampak terhadap kontribusi wisata halal bagi PDB. Namun terlihat pada tahun 2021 dan 2022 akan terus meningkat seiring turunnya kasus Covid-19 sebagaimana dalam grafik berikut.

Sumber: data alenia.id, 2022.
Menurut laporan Global Islamic Economy Gateway (2018), untuk Indonesia sektor pariwisata halal memperoleh skor tertinggi yaitu 65, disusul ekonomi Islam kemudian sektor farmasi dan kosmetik halal. Berikut selengkapnya skor antarsektor halal di Indonesia:

Sumber: Global Islamic Economy Gateway (2018).
Perkembangan pariwisata halal di Indonesia mulanya dikenalkan dengan pariwisata Syariah yang dilounching Bulan Juni tahun 2014 di Jakarta. Kementrian Pariwisata mendefinisikan pariwisata Islam sebagai setiap kegiatan, peristiwa dan pengalaman yang dilakukan dalam keadaan perjalanan yang sesuai dengan ajaran Islam. Wisata halal merupakan pengembangan wisata yang ditujukan untuk keluarga muslim yang taat pada aturan Islam. Indikator kehahalan tersebut ditunjukkan dengan transaksi cara birr (etis), tidak membolehkan free sex, tidak menyajikan makanan yang mengandung unsur najs, tidak menjual minuman beralkohol, menyediakan fasilitas swimming pool terpisah antara pria dan wanita dan adanya fasilitas Sehat Per Air (SPA) khusus bagi pria maupun wanita. Sementara Osman (2015), mendefinisikan halal tourism sebagai kegiatan kepariwisataan yang didasarkan pada ajaran Islam yang mendorong individu, terutama perempuan dan anak-anak untuk bepergian dengan muhrim (pendamping) dalam rangka untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan.
Kementrian Pariwisata bekerjasama dengan MUI telah melakukan Soft Launching pada 12 Desember 2012 tentang pemilihan destinasi unggulan untuk dikembangkan wisata halal. Terdapat dua belas propinsi yaitu NTB, Nangro Aceh Darusalam, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Global Muslim Travel Index (GMTI), mencatat selama lima tabun sejak dilaounching sampai 2019, berhasil mendapatkan predikat negara terbaik mengungguli 130 destinasi wisata halal dari seluruh dunia. Dari dua belas destinasi unggulan, NTB pernah mendapatkan dua World Halal Travel Awards (WHTA) pada 2015 dalam kategori World Best Halal Tourism Destination dan World Best Halal Honeymoon Destination. Lembaga pemeringakat Mastercard-Crescent Rating Global melaporkan Muslim Travel Index tahun 2021, menempatkan Indonesia pada urutan keempat setelah Malaysia, Turki, Arab Saudi. Dibandingkan laporan tahun 2018, posisi Indonesia turun dari peringkat kedua. Dinamika ini menunjukkan adanya persaingan ketat antarnegara yang memiliki destinasi wisata halal. Berikut urutan pemeringkatan Muslim Index Travel 2021:

Sumber: Mastercard-Crescent Rating Global 2021
Dengan meningkatnya destinasi dan investasi pariwisata halal, maka menjadikannya sebagai pendapatan ekspor, penciptaan lapangan pekerjaan, pengurangan angka kemiskinan, penciptaan lapangan pekerjaan dan pengembangan usaha dan infrastruktur. Di era new normal ini, Kemenparekraf/ Baparekraf tengah berupaya melakukan pemulihan dunia pariwisata termasuk mengembangkan wisata halal setelah melakukan langkah tanggap darurat dan normalisasi. Pertumbuhan wisata halal diharapkan akan mendorong berkembangnya halal industry, kemudian berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Harapan sekaligus prospek ini setidaknya dilihat dari enam faktor. Pertama, dilonggarkannya peraturan protokol kesehatan untuk transportasi nasional maupun internasional. Kedua, meskipun kunjungan Wisman menurun, tetapi Wisnu mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2020 sebesar 20%, dari aspek devisa juga mengalami peningkatan sebesar 4%. (BPS, 2021). Ketiga, meningkatnya kesadaran dan kebutuhan konsumen nasional maupun global akan wisata halal. Keempat, munculnya para entrepreuner muslim muda dalam inovasi wisata halal. Kelima, tersedianya SDM terdidik yang dibutuhkan dalam pengembangan wisata halal. Keenam, dukungan pemerintah melalui Kemenparekraf/Baparekraf dalam bentuk kebijakan, fasilitas dan regulasi terhadap eksistensi wisata halal, Wa fawqa kulli dzi ‘ilm. ‘alim.